Atas Nama Kesucian Ideologi Pancasila
(Opini Kritis Dan Empiris Polemik Perppu Ormas 2017)
Atas Nama Kesucian Ideologi Pancasila
(Opini Kritis Dan Empiris Polemik Perppu Ormas 2017)
Pancasila yang telah disepakati menjadi ideologi
bangsa Indonesia merupakan nilai-nilai yang harus diimani oleh segenap
masyarakat yang mengaku bagian dari bumi pertiwi. Bukan tanpa alasan! Pancasila
merupakan kumpulan dari berbagai macam hipotesis ideologi yang disintesiskan
menjadi satu bangunan universal yang terdiri dari lima poin luhur. Begitu
tingginya universalitas pada bangunan Pancasila sehingga membuat bentuk
pengamalan Pancasila dapat dilakukan dengan beragam cara. Pancasilapun
merupakan salah satu stimulus pemicu gerakan pemikiran masyarakat yang dinamis.
Semua gerakan pemikiran “yang matang” selalu berujung pada institusionalisasi
bentuk gerakan dengan mendirikan suatu lembaga (ormas/komunitas) yang menjadi
manifestasi dari pemikiran suatu kelompok masyarakat yang memiliki pandangan
yang sama.
Alih-alih ingin terlihat menjadi garda terdepan dalam melindungi ideologi
bangsa, Pemerintah dengan gaya bebas meluncurkan Perppu baru yang mengekang
gerak masyarakat yang demokratis. Pemerintah yang seharusnya menjadi jembatan
dalam menciptakan masyarakat adil dan makmur atas rahmat tuhan yang maha Esa
malah menjadi benalu yang memiliki otoritas tak terbatas. Pemerintah menjadi
pemisah struktur masyarakat. Ia telah kehilangan sentuhan dan perasaan
kemanusiannya. Kini masyarakat tidak mampu melakukan kritik kepada Pemerintah
atas situasi yang terjadi di masa kini kerena kehilangan lembaga formalnya.
Pemerintah tidak lagi mampu membimbing masyarakat ke arah tujuan yang
seharusnya dituju dengan menjelaskan unsur-unsur yang krusial bagi pengembangan
potensi bangsa. Pemerintah tidak lagi memiliki keprihatinan atas nasib
masyarakat yang miskin dan bodoh yang tidak mampu memikirkan nasibnya sendiri
serta mencapai kehidupan yang ideal. Jika Pemerintah tidak sanggup menjalankan
tugasnya sendiri, maka siapa lagi yang bisa membantu Pemerintah dari luar
lembaga kepemerintahan selain masyarakat dengan ormasnya.
Berbagai alibi dilontarkan oleh Pemerintah. Alasan fundamental dibentukanya
Perppu Ormas 2017 (Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Perubahan atas UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan)
adalah lamanya proses yang harus dilalui jika mengikuti Undang-Undang Ormas
yang lama. Tentu saja, alibi klasik ini tidak dapat diterima oleh manusia yang
masih dianugerahi tuhan untuk berfikir. Pasalnya, jika itu yang menjadi alasan
utama, ormas yang menjadi objek dari Perppu tersebut harus melalui proses yang
panjang jika ingin menggugat balik. Ini merupakan bentuk ketidakadilan hukum
yang nyata. Terbukti! Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hanya melalui proses satu
minggu tanpa dialog dan proses pengadilan, Rabu 19 Juli 2017 Pemerintah dengan
sepihak mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sedangkan
dalam proses pembelaan, Hizbut Tahrir Indonesia harus melalui proses panjang
hingga waktu yang tak bisa dipastikan.
Hizbut
Tahrir Indonesia yang
namanya sangat dikenal akhir-akhir ini memang nampak terlihat memiliki konsep
kepemimpinan yang berbeda dengan sudut pandang ormas Indonesia pada umumnya.
Namun bila ditelisik lebih jauh, konsep kepemimpinan Hizbut Tahrir Indonesia
adalah konsep kepemimpinan peninggalan ulama muslim terdahulu. Dengan kata
lain, konsep Hizbut Tahrir Indonesia adalah konsep dari suatu penafsiran Agama
Islam itu sendiri yang sudah tentu tidak bertentangan dengan Pancasila. Toh,
selama kiprahnya di Indonesia yang dimulai pada tahun 1980-an hingga saat ini,
HTI tidak pernah melakukan demonstrasi anarkis, pemboikotan, kudeta, dan
konfrontasi terhadap Pemerintah, bahkan HTI pernah mendapat piagam penghargaan
sebagai demonstrasi paling tertib oleh Kapolda Metro Jaya. Lalu, dimana letak
kondisi genting dan mengancam yang menjadi alasan dasar atas lahirnya Perppu.
Sekarang coba kita reverse logika berfikir kita. Katakan saja
HTI adalah ormas yang anti Pancasila dan pengadilan memutuskan untuk menolak
gugatan HTI meskipun banyak masyarakat yang mendukung HTI. Ormas HTI saja yang
sudah menjadi organisasi trans-nasioanal tidak dapat mempertahankan organisasinya
hanya karena dituduh anti-Pancasila apalagi ormas-ormas dakwah kecil yang tidak
memiliki sumber kekuatan yang besar. Maka bisa kita bayangkan dikemudian hari,
Pemerintah bisa dengan seenaknya membubarkan suatu organisasi hanya karena
dituduh anti-pancasila. Jangan heran jika dikatakan bahwa Perppu ormas ini
bukan dirancang untuk melenyapkan ormas anti-pancasila melainkan untuk
melenyapkan ormas yang tidak setuju dengan kebijakan Pemerintah. Akibatnya,
Pemerintah dapat melakukan kesewenang-wenangan atas nama Pancasila dan keadilan
dengan hukum yang sah. Sejarah mencatat bahwa setiap rezim memiliki tafsir
eksklusif tersendiri tentang Pancasila. Setiap rezim mengaku dirinyalah yang
Pancasilais. Perppu sangat dikhawatirkan hanya menjadi alat bagi para penguasa
untuk menghabisi lawan “politiknya” dengan dalih melindungi kesucian Pancasila.
Selain itu, langkah Pemerintah dengan mengeluarkan Perppu Ormas 2017 sama saja
mencederai budaya asli bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi musyawarah.
Tanpa dialog dan sikap elegan, Pemerintah justru menampilkan wajah “Premanisme
kaum Elit” dengan memukul dan menghabisi siapa saja yang dianggap atau dituduh
anti-Pancasila menurut tafsir eksklusifnya. Sikap ini yang menimbulkan rasa
diskriminasi terhadap Ormas Islam sehingga muncul opini yang terus berkembang
pada masyarakat bahwa Pemerintah masa kini merupakan rezim anti-Islam. Coba
sekarang kita bandingkan. Komunitas Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender,
Interseksual, dan Queer (LGBTIQ) yang jelas berntentangan dengan nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia dan menyimpang dari lima butir Pancasila serta mengancam
moral anak bangsa justru mendapat ruang dialog dan rangkulan dari Pemerintah
bahkan mendapatkan penghargaan Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) pada tahun 2016 yang juga dihadiri oleh Menteri Agama.
Sebenarnya yang menjadi inti permasalahan bukanlah Perppu Ormasnya. Perppu
Ormas hanyalah sebagai “icon” dari bentuk kedzaliman dan ketidakadilan yang
dilindungi hukum dari suatu rezim. Polemik Perppu Ormas merupakan sebuah
realitas agar masyarakat sadar bahwa hak mereka dalam berbangsa dan bernegara
telah dirampas oleh permainan pihak yang memiliki otoritas. Jika ini dibiarkan,
kesewenang-wenangan dalam bentuk lain pasti akan terjadi. Ini merupakan contoh
kecil bahwa Pemerintah hanya memprioritaskan kepentingan sekelompok orang licik
dan meninggalkan penduduknya dalam kebodohan dan kemeralatan. Atas nama wibawa
otoritas, memerangi radikalisme, dan hak asasi manusia, Pemerintah dapat
membubarkan suatu Organisasi Kemasyarakatan yang positif dan konstruktif.
Akhirnya Pemerintah Tirani berlindung dibalik keselamatan publik (public
safety), ketertiban publik (public order), kesehatan publik (public
heatlth), moral publik (public morals), serta pelindungan hak dan
kebebasan (rights and freedom).
Sebagai penutup dari catatan kecil ini, penulis tidak bermaksud untuk menjadi
pihak yang memperkeruh suasana. Jika terdapat kata-kata yang terlihat
tendensius, mohon untuk dipahami dan direnungi kembali bahwa penulis hanya bermaksud
memberikan pencerahan kecil kepada sesama makhluk tuhan. Memang masih banyak
permasalahan yang lebih penting untuk dibahas seperti melonjaknya hutang
Indonesia, kekurangan air di berbagai pelosok desa, tingginya tingkat kriminal
pada pelajar, dan kebijakan Pemerintah yang “absurd” lainnya. Keterbatasan
wawasan yang dimiliki oleh penulis membuat penulis hanya mampu beropini tentang
persoalan yang menjadi judul dari tulisan ini. Mohon dimaklumi jika ditemukan
kalimat-kalimat yang terlalu elementer. Ini semua merupakan gambaran dari opini
yang berkembang di sebagian masyarakat terutama pemuda. May God speed!
Oleh : Zakiyulfikri Ali dan Rafi Adly (Aktifis UIN SGD Bandung)
IG : @zaky @rafiadly29
No comments:
Post a Comment